Nama : Dyah Retno Wulandari
NPM : 22211296
Kelas : 4EB18
Tugas Etika Profesi Akuntansi
1.
Tahap
Pengembangan Moral Lawrence Kohlberg
Kohlberg
mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu dengan
pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkembangan yang memiliki urutan
pasti dan berlaku secara universal). Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence
Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu dimana
masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral:
a.
Tingkat
Prekonvensional
Pada
tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya
norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan
mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas
tindakan yang dilakukan. Pada tingkat ini sering ditemukan pada anak-anak
prasekolah, sebagian besar anak-anak SD, sejumlah siswa SMP, dan segelintir
siswa SMU. Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
1) Tahap
Punishment and Obedience Orientation
Pada
tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari
suatu tindakan sangat menentukan baik buruknya suatu tindakan yang dilakukan,
tanpa melihat sisi manusianya.
2) Tahap
Instrumental-Relativist Orientation
atau Hedonistic Orientation
Pada
tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu
memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang tidak
memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dapat
dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan. Pada
tahap ini, terdapat hubungan timbal balik dan sikap terus terang yang menempati
kedudukan yang cukup penting.
b.
Tingkat
Konvensional
Pada
tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok,
masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Pada
tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui
keabsahan tertib sosial sangat ditekankan serta usaha aktif untuk menjalin
hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok
disekitarnya. Pada tingkat ini, sering ditemukan pada segelintir siswa SD
tingkat akhir, sejumlah siswa SMP, dan banyak siswa SMU (biasanya tidak muncul
sebelum masa SMU). Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap
yaitu:
a. Tahap
Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good Girl Orientation
Pandangan
anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan,
membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Moralitas
suatu tindakan di ukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi,
setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
b. Tahap
Law and Order Orientation
Pada
tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan,
dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap
sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap
suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya
tertib sosial yang ada.
c.
Tingkat
Postkonvensional
Pada
tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai
dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus
mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan
seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ini sering ditemui pada jenjang sebelum
kuliah. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan
moral, yaitu:
1)
Tahap
Social-Contract, Legalistic Orientation
Tahap
ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan
yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan
hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan
telah disepakati oleh masyarakat luas. Tahap ini dianggap tahap yang
memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan
seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan
nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang.
2)
Tahap
Orientation of Universal Ethical
Principles
Pada
tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum
atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih
dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis.
Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan
bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan
sebagainya.
2.
Faktor
yang Menentukan Tingkatan Intensitas Masalah Etika
Itensitas
moral diartikan sebagai cara berfikir yang menangkap luasnya masalah terkait
kewajiban moral dalam sebuah situasi. Intensitas moral di bangun di atas
logika, analogi dan beberapa komponen pembentuknya. Ada empat tingkatan
intensitas mengenai etika, yaitu:
a. Etika
atau Moral Pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang
baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain
pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa
lalu.
b. Etika
Profesi yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun
perilaku kalangan profesi tertentu.
c. Etika
Organisasi yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat
formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi
yang bersangkutan.
d. Etika
Sosial yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan
tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat
selalu terjaga atau terpelihara.
Selain
itu, komponen intensitas moral terdiri dari enam faktor, yaitu:
a.
Besarnya
Konsekuensi (Magnitude of Consequence)
Besarnya
konsekuensi bisa didefinisikan sebagai seberapa besar tingkat kerugian (atau
manfaat) yang dirasakan oleh orang lain sebagai akibat dari tindakan etis/moral
yang dilakukan. Jones (1991) berpendapat bahwa semakin besar konsekuensi yang
ditimbulkan maka suatu tindakan akan lebih diketahui sebagai tindakan etis.
Besarnya konsekuensi mengacu pada sejumlah gangguan atau keuntungan yang
dihasilkan dari suatu situasi yang telah ada. Contoh : dalam kasus tekanan
klien terhadap auditor agar mau menerima dan tidak meragukan laporan keuangan
klien yang agresif, besarnya konsekuensi dapat disertakan dengan kerugian
potensial bagi pengguna laporan keuangan.
b.
Social Consesus
Konsensus
sosial didefinisikan sebagai anggapan yang beredar ditengah masyarakat terhadap
suatu tindakan tersebut baik atau jahat. Dalam melakukan tindakan etis, seorang
harus mengetahui apakah tindakan yang dilakukan tersebut dipersepsikan baik
atau buruk oleh masyarakat. Consensus
social mengacu pada luasnya persetujuan social bahwa tindakan dikatakan
etis atau tidak etis. Konsensus yang lebih luas mengacu pada besarnya
intensitas moral. Misalnya, dalam suatu situasi yang melibatkan pelanggaran
standar profesional seharusnya mempunyai intensitas moral lebih besar
dibandingkan dengan suatu situasi yang ada pada “area abu-abu”
c.
Profitability of Effect
Kemungkinan
keterjadian merupakan suatu kondisi yang memungkinkan suatu tindakan moral/etis
mengakibatkan kerugian atau manfaat kepada orang lain. Dalam suatu kemungkinan
keterjadian yang tinggi, tindakan tersebut akan lebih dikenali sebagai tindakan
moral yang akan berdampak kepada orang lain.
d.
Proximity
Tingkat
kedekatan didefinisikan sebagai kedekatan (secara sosial, kultural, psikologi
maupun secara fisik) antara pelaku tindakan dengan pihak terdampak.
e.
Temporal Immediacy
Jangka
waktu munculnya akibat didefinisikan sebagai jangka waktu antara tindakan dengan
konsekuensi moral yang ditimbulkan. Semakin singkat konsekuensi negatif dari
suatu tindakan muncul hal tersebut akan membuat suatu tindakan dikenali sebagai
tindakan etis. Suatu tindakan etis mengacu pada lamanya waktu antara tindakan
dan konsekuensi yang muncul. Sesuai teori Jones (1991), orang tidak
mempertimbangkan pengaruh konsekuensi masa depan, jadi dalam besarnya
konsekuensi yang ada, kejadian yang terjadi dalam masa mendatang secara moral
intensitasnya lebih kecil dibandingkan dengan kejadian yang datang dengan
tiba-tiba.
f.
Concentration of Effect
Jumlah
pihak terdampak adalah jumlah orang yang akan terpengaruh dengan tindakan etis
yang dilakukan. Semakin banyak jumlah orang yang bisa terdampak akibat tindakan
yang kecil, maka suatu tindakan akan lebih mudah dikenali sebagai tindakan
etis. Untuk membentuk intensitas moral selain dengan melihat komponen
pembentuknya juga didasarkan pada pengetahuan tentang etika.
3.
Jenis-jenis
Penyimpangan di Tempat Kerja
Penyimpangan
di tempat kerja adalah perilaku tidak etis yang melanggar norma-norma
organisasi mengenai benar atau salah. Terdapat 4 jenis penyimpangan di tempat
kerja, antara lain:
a. Penyimpangan
Produksi
Penyimpangan
produksi adalah perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah hasil
produksi. Misalnya: pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja bekerja
lamban, dan sengaja membuang-buang sumber daya.
b. Penyimpangan
Hak Milik
Penyimpangan
hak milik adalah perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan. Misalnya:
menyabot, mencuri, atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang lebih
tinggi dan mengambil kelebihannya, menipu jumlah jam kerja, dan mencuri dari
perusahaan lain.
c. Penyimpangan
Politik
Penyimpangan
politik yaitu penyimpangan yang menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan
orang lain dalam perusahaan. Misalnya: mengambil keputusan berdasarkan pilih
kasih dan bukan kinerja, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, dan menuduh
orang lain atas kesalahan yang tidak dibuat.
d. Penyerangan
Pribadi
Penyerangan
pribadi merupakan sikap bermusuhan atau perilaku menyerang terhadap orang lain.
Seperti: pelecehan seksual, perkataan kasar, mencuri dari rekan kerja, dan
mengancam rekan kerja secara pribadi.
Sumber :