Pages

Senin, 02 April 2012

Kemiskinan di Tengah Kekayaan

Kemiskinan di Tengah Kekayaan

Dalam rancangan RAPBN untuk tahun 2012, terbaca bahwa kekayaan Indonesia semakin meningkat. Pendapatan Negara bertambah. Tapi mengapa kehidupan bagi rakyat terasa semakin sulit. Bahkan di beberapa daerah terjadi rawan pangan. Sebanyak 862 desa di propinsi NTT misalnya, masih terkategori rawan pangan. Mengapa bisa terjadi kenyataan yang bersebrangan dengan laporan di atasjadi kenyataan yang bersebrangan dengan laporan di atas kertas? Kita akan berbincang-bincang tentang masalah KEMISKINAN DI TENGAH KEKAYAAN bersama Usth Ir Lathifah Musa. Beliau adalah Pemimpin Redaksi Majalah Udara Voice Of Islam
Ustadzah, apa benar kalau Indonesia itu dilaporkan semakin kaya? Kenyataannya kok yang dirasakan rakyat saat ini adalah harga-harga yang naik dan kehidupan yang cukup sulit, untuk makan, sekolah anak dll?
Kalau kita menyimak apa yang disampaikan pemerintah dalam penyusunan RAPBN 2012, memang terbaca bahwa pendapatan negara Indonesia itu semakin meningkat. Ada defisit pengajuan RAPBN sebesar 1,5%. Yaitu 125,6 Trilyun. Kalau dalam aturan keuangan negara, defisit 1,5% dari Product Domestic Bruto (PDB), maka berarti PDBnya sendiri adalah Rp 8.373 Trilyun. Sangat besar. Kalau PDB dibagi ke seluruh rakyat Indonesia, yang berjumlah 237 juta jiwa, maka berati pendapatan perkapita bertahun masing-masing orang sekitar RP 35 juta atau sekitar 4000 dollar AS. Satu orang penduduk, termasuk yang masih bayi, berpendapatan sekitar 10 dollar dalam sehari. Inilah yang dipandang membanggakan oleh pemerintah. Tapi apa benar seperti itu? Hitung-hitungan ini memang kalau dibagi rata per jumlah penduduk Indonesia berdasarkan sensus 2010. Tapi faktanya sekarang, jutaan orang hidup dengan dua dollar per hari. Itupun sudah sulit. Bahkan diprediksi jumlah orang miskin, sebagaimana kriteria PBB, yaitu yang berpendapatan kurang dari 2 dollar sehari, di Indonesia jumlahnya bisa mencapai 100 juta jiwa lebih. Jadi kekayaan negara itu milik siapa? Yang jelas bukan milik seluruh rakyat Indonesia. Karena PDB itu tidak lantas mewakili pendapatan seluruh rakyat. Kenyataannya PDB yang besar itu, dikuasai hanya oleh kurang dari 20% jumlah penduduk di negeri ini. Sehingga memang kesenjangan terlihat sangat nyata. Yang kaya sangat kaya dan yang miskin sangat miskin. Yang kaya berjumlah sangat sedikit sementara yang miskin berjumlah sangat banyak. Ini memang fenomena negara-negara yang menerapkan sistem Kapitalisme.
Ustadzah, sebenarnya kemiskinan itu kenyataan atau bukan sih? Seringkali fakta kemiskinan di Indonesia ini tertutupi?
Kemiskinan adalah sebuah kenyataan yang sangat transparan. Kita bisa menyaksikannya langsung di sepanjang rel kereta api di P. Jawa. Kita juga bisa menyaksikannya langsung di balik gedung-gedung bertingkat dan apartemen mewah di Jakarta. Kita bisa melihat langsung melalui berita-berita di TV, kasus-kasus kebakaran yang berulangkali menimpa perumahan-perumahan kumuh di ibukota. Bahkan kalau kita ke desa-desa terpencil di P.Jawa, Sumatera, Nusa Tenggara, kemiskinan itu bukan sekedar kesulitan mencari uang, tetapi mencari air bersih saja sudah sangat sulit. Di NTT, sebanyak 862 desa terancam rawan pangan, dengan kategori risiko tinggi 199 desa, sementara risiko ringan 297. Untuk yang risiko tinggi, bila tidak diantisipasi dalan 2-3 bulan ke depan akan menimbulkan bencana kelaparan besar. Saat ini kemiskinan sudah sangat menyentuh jiwa. Masyarakat di daerah rawan pangan sudah sulit mencari ubi. Dalam liputan Kompas, warga NTT sudah mulai mencari buah asam liar di hutan-hutan. Buah asam yang sudah dipisahkan dengan bijinya dijual. Biji asamnya disimpan, untuk makanan terakhir kalau tidak ada makanan lain. Caranya dijemur dulu beberapa hari, digoreng sangan setengah matang, ditumbuk untuk melepaskan kulit arinya yang keras. Kemudian biji putih di dalamnya direndam air selama 2-3 hari sebelum dikonsumsi. Bagi yang hidup di kota dan terbiasa makan nasi atau ubi, mungkin tidak bisa membayangkan betapa beratnya rawan pangan seperti ini.
Ustadzah, bagaimana seharusnya kita menilai sebuah negara itu makmur atau miskin?
Intinya kemakmuran suatu negara tidak bisa dinilai dari pendapatan per kapita. Kemakmuran suatu negara juga tidak bisa dinilai dari jumlah PDB (Pendapatan Kotor Negara). Kalau Indonesia sebagai sebuah negara secara hitung-hitungan pendapatan negaranya besar. Memang bisa dikatakan sebagai negara kaya. Tetapi negara kaya yang tidak makmur. Karena masih sangat banyak rakyat yang miskin. Kekayaan negara hanya dirasakan oleh segelintir orang saja. Berbicara kemakmuran, maka kemakmuran atau kecukupan itu harus menyentuh individu per individu. Ketika kecukupan itu tidak menyentuh semua orang, artinya masih ada yang kekurangan dan terjerat kemiskinan, maka berarti belum tercapai yang namanya kemakmuran.  Dengan demikian Indonesia belum bisa dikatakan makmur. Karena kekayaan hanya menyentuh 20% penduduk. Kemiskinan masih menjerat sekitar 100% jumlah penduduk. Bahkan dalam kondisi seperti ini, Indonesia masih tergolong jauh dari makmur.
Apakah banyaknya mobil mewah, kepemilikan kendaraan, motor dan lain-lain, juga bisa menjadi indikasi kemakmuran suatu negara?
Kemakmuran suatu negara juga tidak bisa dinilai dari jumlah penjualan mobil mewah, kendaraan bermotor dan lain-lain. Kita bisa melihat, konsumsi mobil dan apartemen mewah di Indonesia hanya pada segelintir orang saja. Satu orang bisa memiliki banyak mobil mewah. Dan satu orang ini biasanya adalah kalangan pengusaha, sekaligus pejabat dan politisi anggota dewan.  Bahkan kemewahan-kemewahan ini menunjukkan kesenjangan yang sangat luar biasa. Di satu sisi ada orang-orang yang berkelimpahan dan bermandikan uang, di sisi lain ada orang yang sampai tidak bisa makan, tidak punya rumah bahkan menemui ajalnya dalam kondisi kelaparan.
Ustadzah, apa yang seharusnya dilakukan oleh Indonesia?
(1)Indonesia adalah negeri muslim. Yang terjadi di negeri ini adalah yang terjadi pada masyarakat muslim. Apa yang terjadi di negeri ini adalah karena penerapan Sistem Kapitalisme. Cara menghitung kemakmuran juga ala Kapitalisme, yaitu dengan membagi PDB dengan jumlah penduduk. Kemudian upaya memakmurkan negara juga dengan meningkatkan target PDB.
(2) Sistem perekonomian yang ada harus direvisi. Tetapi akan sulit tanpa merevisi landasan pembangunannya. Berbicara tentang muslimnya penduduk Indonesia, seharusnya tidak perlu sulit, karena Islam memiliki sistem perekonomian yang paripurna. Kesalahan Kapitalisme adalah karena tidak mampu menyelesaikan ketimpangan kemakmuran. Ini karena kapitalisme tidak mampu menyelesaikan problem distribusi. Di dalam Islam, yang diatur secara rinci adalah mekanisme distribusi. Bagaimana kewajiban negara mengelola kekayaan rakyat. Problem negara ini adalah karena kekayaannya sudah banyak dimiliki asing. Kekayaan rakyat diprivatisasi, mulai dari darat, laut, pegunungan, pantai dll, bahkan air pun harus membayar.  Di dalam Islam, negara bertanggung jawab mengelola kekayaan rakyat untuk kemaslahatan rakyat. Berbicara tanggung jawab negara, maka yang dimaksud adalah pemimpinnya. Rasulullah Saw bersabda: Al Imaamu ra’in wa huwa mas uulun ‘an raiyyatihi: Pemimpin itu adalah penggembala dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (HR Bukhari). Di dalam Islam, individu-individu bertanggung jawab mengelola hartanya. Di dalam harta orang kaya, ada hak orang miskin. Ada kewajiban zakat, nafkah, waris  dan ada anjuran untuk bersedekah, hibah, wakaf dll. Inilah juga yang tidak dimiliki oleh individu-individu kapitalis. Pembahasan tentang pengelolaan kekayaan negara, memang tidak sedikit dan perlu upaya menelaah secara rinci. Tetapi sebenarnya tidak sulit. Pengaturannya pun sangat sederhana dan tidak rumit. Perekonomian Kapitalisme lebih rumit, sulit, bahkan tidak realistis. Apalagi kalau kita beribicara produk-produk derivatnya yang tidak ada wujudnya. Inilah sebabnya, menjadi tanggungjawab kaum muslimin yang sadar untuk mengkaji dan mulai membangun perekonomian Islam. Namun tentu kita semua harus menyadari, akan sulit menjalankan perekonomian Islam, tanpa menegakkan negara di atas kesadaran Islam yang utuh. Berarti persoalan aqidah harus menjadi kesadaran yang sempurna. Pengakuan terhadap aqidah Islam, berarti penerimaan yang utuh terhadap seluruh aturan kehidupannya. “Afahukmal jahiliyyati yab ghuun. Wa man ahsanu minallaahi hukman liqaumi yuuqinuun: Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Hukum siapa yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang meyakini?” (QS Al Maidah:50)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar