Tidak Syarinya Gadai Syariah
Yang disbut sebagai gadai syariah tak lain adalah upaya menyembunyikan utang berbunga yang haram hukumnya. Gadai, atau rahn, adalah salah satu transaksi yang halal dalam muamalat. Secara bahasa kata rahn berarti tetap dan langgeng. Secara syariah gadai adalah menjadikan suatu barang sebagai jaminan atas kewajiban suatu hutang untuk dipakai sebagai alat bayar jika terpaksa, bila pada saat jatuh tempo pihak pengutang gagal melunasinya. Transaksi gadai, seperti halnya jual-beli, sah bila diawali dengan proses ijab dan kabul. Secara detil ada berbagai ketentuan berkaitan dengan gadai ini yang menyangkut tata cara pengelolaan serta hak dan kewajiban pihak penggadai maupun pegadaian.
Belakangan, bersamaan dengan munculnya bisnis perbankan syariah, muncul pula istilah gadai syariah, yang dalam hal ini ditawarkan dan dikelola oleh perbankan syariah. Ini, tentu saja, merupakan suatu hal yang sangat baru, karena selama ini bank tidak bertindak sebagai pegadaian. Kegiatan gadai-menggadai adalah transaksi muamalat dua pihak yang sifatnya personal, dan tidak pernah melalui pihak perantara, seperti bank. Bank adalah institusi yang berurusan dengan utang-piutang berbunga, dengan mensyaratkan suatu agunan, tapi sifatnya berbeda dengan jaminan sebagaimana yang ditransaksikan dalam gadai.
Dari asal-muasalnya saja kita sudah bisa mempertanyakan, apakah gadai yang ditawarkan oleh perbankan syariah dan diklaim sebagai "gadai syariah" itu benar-benar sesuai dengan syariah Islam?
Pegadaian atau Perbankan?
Secara umum bisnis bank adalah menganakpinakkan uang. Caranya ialah dengan membungakan uang. Prakteknya adalah dengan sewa-menyewakan uang. Bank, melalui suatu produk yang disebut dengan tabungan atau deposito, menawarkan jasa menyewa uang kepada nasabah dengan harga sewa tertentu, yang disebut sebagai bunga, lazimnya bulanan atau tahunan. Saat ini di Indonesia tarif sewa uang oleh perbankan ini adalah sekitar 6%/tahun.
Dari uang yang disewa dari orang lain dengan harga sewa 6%/tahun ini, pihak pemlik bank menyewakan lagi uang tersebut kepada nasabah, yang disebut debitur, dalam bentuk produk yang disebut kredit, untuk berbagai keperluan: pembelian rumah (KPR), pembelian motor (kredit kendaraan), membayar sekolah (kredit pendidikan), atau aneka keperluan lainnya. Tarif sewa yang dibebankan bank kepada debitur, tentu saja, lebih tinggi dari tarif sewa uang oleh pihak bank kepada deposan, saat ini sekitar 15-20%/tahun. Nah, dari selisih uang sewa 9-14% itulah, pihak bank menengguk keuntungan. Jadi uang (deposan) beranak uang (dari debitur).
Tetapi, meski sudah memperoleh laba besar, pihak bank tidak semudah itu menyewakan uangnya kepada debitur. Ada banyak syarat tambahan. Dua yang paling umum adalah agunan dan ekuitas. Jadi, untuk bisa menyewa uang kepada bank, calon debitur haruslah memiliki harta dulu, baik yang akan dipakai sebagai agunan maupun sebagai penyertaan modal (ekuitas). Di samping itu, biaya sewa uang ini (yang disebut bunga itu) lazimnya bersifat majemuk, yakni bunga-berbunga, tarif sewanya memiliki harga sewa tersendiri. Maka semakin panjang waktu sewanya semakin tinggi tarifnya. Sewa untuk 10 tahun lebih mahal dari sewa untuk 5 tahun atau 3 tahun, begitu seterusnya. Kalau terjadi keterlambatan dalam membayar uang sewa ini, tarif sewa itu semakin besar pula dengan berjalannya waktu.
Sedangkan gadai, sebagaimana telah diuraikan secara ringkas di atas, seharusnya tidak melibatkan transaksi seperti utang piutang, apalagi utang piutang berbunga. Benda gadainya itulah jaminan atas utang si debitur, dan tidak ada hubungan transaksional lain. Karena itu, gadai-menggadai, tidak pernah dilakukan dengan cara hitung-menghitung secara komersial, apalagi demi mendapatkan keuntungan. Dengan kata lain gadai, pada mulanya, bukanlah bisnis, melainkan sebentuk jasa sosial dengan tujuan menolong seseorang yang tengah mengalamai kesulitan finansial.
Gadai Syariah Emas dan Dinar Emas
Sekarang kita lihat bagaimana "gadai syariah' itu dipraktekkan, dalam hal ini yang belakangan sangat dipromosikan, yaitu gadai emas. Bila seseorang memerlukan uang maka ia akan menggadaikan emas yang dimiliknya kepada bank syariah. Maka, pihak bank syariah telah menyiapkan sebuah skema gadai, dengan sejumlah ketentuan:
1. Emas milik nasabah akan dinilai dengan harga yang berlaku saat itu, tapi tidak dinisbahkan semuanya, melainkan hanya sekitar 95%.
2. Dari harga taksiran yang 95% ini pihak bank akan mengabulkan gadainya dengan nilai utang (gadai) sebanyak sekitar 90%
3. Kepada nasabah akan dikenai "biaya penitipan" yang meski ditetapkan secara fixed, sebenarnya ditentukan malalui perhitungan persentase terhadap nilai piutang yang diberikan pihak bank, yakni sekitar 1-1.1%/bulan, atau 12-13%/tahun.
Alhasil, seara de facto, "gadai syariah" ala perbankan syariah ini sama sekali berbeda dengan gadai dalam arti sebenarnya, melainkan merupakan utang-piutang berbunga, dengan fixed rate. Jadi, emas yang digadaikan, hanyalah sebagai "prasyarat" saja, atau bisa kita katakan, diperlakukan sebagai agunan, sebagaimana agunan yang dipersyaratkan dalam utang-piutang berbunga lainnya. Emas itu bukan merupakan jaminan atas utang-gadai pihak si penggadai kepada pegadaian. Kalau dihitung agunan emas ini hanya dinilai 70% saja dari nilai yang sebenarnya. Sedangkan bunga yang dikenakan atas uang pinjaman ini sekitar 12-13%/tahun.
Sebab kalau emas itu diperlakukan sebagai benda gadai, maka pihak pegadaian tidak dibenarkan mengambil keuntungan dari benda gadai itu. Dalam hal ini keuntungan yang diambil pihak bank, tidak lain adalah bunga dengan fixed rate, tetapi dimanipulasi dan disembunyikan sebagai "biaya titipan". Dalam syariat Islam, untuk urusan gadai, tanggung jawab atas penyimpanan benda gadai ini merupakan kewajiban pihak pegadaian bukan si penggadai.
Persoalan lebih jauh lagi adalah bila emas yang digadaikan itu berbentuk dinar emas. Seseorang menggadaikan harta bendanya kan karena membutuhkan uang? Dinar emas adalah uang itu sendiri. Bagaimana mungkin uang digadaikan untuk mendapatkan uang? Apa lagi nilai uang yang digadaikan itu hanya diberi nilai 70% dari nilai sesungguhnya? Sebagaimana kita ketahui bersama, pertukaran "emas dengan emas", hanya bisa dilakukan dengan dua syarat mutlak: kontan dan jumlahnya sama banyaknya. Jadi, gadai dinar emas, adalah sebuah absurditas.
Satu hal penting lainnya adalah skema gadai syariah emas dan dinar emas pada dasarnya� akan sangat merugikan masyarakat secara umum. Sebab dampak langsung dari gadai emas dan dinar emas adalah penyedotan kembali emas dan dinar emas yang beredar di tangan masyarakat ke brankas-brankas para bankir. Emas dan dinar emas kembali ditimbun, sementara masyarakat tetap disodori dengan uang ketas yang tak bernilai.
Bank adalah bank. Produk apa pun yang mereka tawarkan kepada masyarakat tidak akan beranjak dari bisnis dasarnya, yaitu sewa-menyewa uang, atau utang-piutang berbunga. Dengan atau tanpa label syariah di belakangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar