Pages

Jumat, 04 November 2011

Kemiskinan Semakin Merajalela

Kemiskinan Semakin Merajalela
“BBM naik tinggi, susu tak terbeli, orang pintar tarik subsidi, bayi kita kurang gizi”. Itulah sepenggal lagu dari Bung Iwan Fals yang menggambarkan bahwa dengan naiknya harga BBM akan berdampak pada kenaikan harga kebutuhan hidup lainnya, sehingga mengakibatkan rakyat miskin semakin banyak dan kondisinya memprihatinkan.
KEMISKINAN merupakan suatu fenomena yang selalu diusahakan untuk diminimalisasi, bahkan bila mungkin dihilangkan. Namun dalam kenyataannya kemiskinan masih selalu melekat dalam sendi-sendi kehidupan manusia. Sehingga memerlukan suatu upaya penanggulangan secara komprehensif, integral dan berkelanjutan.
Beragam konsep tentang kemiskinan. Mulai dari sekedar ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan memperbaiki keadaan. Kurangnya kesempatan berusaha, hingga pengertian yang lebih luas yang memasukkan aspek sosial dan moral. Misalnya, ada pendapat yang mengatakan bahwa, kemiskinan terkait dengan sikap, budaya hidup, dan lingkungan dalam suatu masyarakat. Atau ada pula yang mengatakan bahwa kemiskinan, merupakan ketidak berdayaan sekelompok masyarakat terhadap sistem yang diterapkan oleh pemerintahan.
Sehingga mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi (kemiskinan struktural). Tetapi pada umumnya, ketika orang berbicara tentang kemiskinan, yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini, maka seseorang masuk dalam kategori miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokok. Untuk dapat hidup secara layak. Ini yang sering disebut dengan kemiskinan konsumsi.
Kemiskinan, ketertinggalan dan kebodohan seperti 3 mata uang. Karena kemiskinan, ketertinggalan dan kebodohan lahir secara bersama, karena ketiganya merupakan permasalahan sosial yang ada seperti lingkaran setan (yang saling kait-mengkait). Sehingga mengakibatkan kondisi ekonomi dan sosial yang semakin parah dan memprihatinkan. 
Kemiskinan tidak bisa dilepaskan dari kebodohan dan ketertinggalan. Demikian pula kebodohan, sangat erat hubungannya dengan kemiskinan dan ketertinggalan, dalam ekonomi dan kemakmuran. Meski kenyataannya ada anak-anak keluarga miskin berotak cemerlang. Ketertinggalan untuk meraih kesempatan dalam berbagai bidang kehidupan, selain akibat kebodohan dan kemiskinan, juga akibat diskriminasi lantaran status sosial dan ekonomi yang rendah.
Untuk memerangi kemiskinan tentu harus bekerja keras. Memerangi kebodohan tentu harus giat belajar, namun ongkos pendidikan kian sulit terjangkau kebanyakan rakyat. Memerangi ketertinggalan akan jadi tambah sulit, bila kebodohan berkolusi dengan kemiskinan, yang akan melahirkan tindakan-tindakan amoral dan kriminalitas.
Masyarakat kita sudah terasuki oleh penyakit "keserakahan, ketamakan, kesombongan, kedengkian, kemalasan dan masa bodoh". Masalahnya, siapa mau mengaku memiliki kualitas pribadi negatif seperti itu, lalu secara ikhlas memeranginya sementara godaan material kian meningkat?
Pendek kata, kemiskinan merupakan persoalan yang maha kompleks dan kronis. Maka cara penanggulangan kemiskinan pun, membutuhkan analisis yang tepat. Melibatkan semua komponen permasalahan, dan diperlukan strategi penanganan yang tepat, berkelanjutan dan tidak bersifat temporer. Sulit untuk menentukan sejumlah variabel dapat dipakai untuk melacak persoalan kemiskinan. Sebab variabel yang akan dihasilkan dapat untuk menentukan serangkaian strategi dan kebijakan.
Khususnya penanggulangan kemiskinan yang tepat sasaran dan berkesinambungan. Dari dimensi pendidikan misalnya, pendidikan yang rendah dipandang sebagai penyebab kemiskinan. Dari dimensi kesehatan, rendahnya mutu kesehatan masyarakat menyebabkan terjadinya kemiskinan. Dari dimensi ekonomi, kepemilikan alat-alat produktif yang terbatas, penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan, dilihat sebagai alasan mendasar mengapa terjadi kemiskinan. Faktor kultur dan struktural juga kerap kali dilihat sebagai elemen penting, yang menentukan tingkat kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Tidak ada yang salah dan keliru dengan pendekatan tersebut. Tetapi dibutuhkan keterpaduan antara berbagai faktor penyebab kemiskinan. Antara lain faktor penyebab yang sangat banyak, dengan indikator-indikator yang jelas. Sehingga kebijakan penanggulangan kemiskinan, tidak bersifat temporer, tetapi permanen dan berkelanjutan.


Sumber : http://fransiskusateng.blogspot.com/2008/05/kemiskinan-semakin-merajalela.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar