Kamis, 01 Januari 2015

Tugas Etika Profesi Akuntansi ke-4

Diposting oleh Dyah Retno Wulandari di 1/01/2015 06:33:00 PM 0 komentar
Nama  : Dyah Retno Wulandari
NPM   : 22211296
Kelas   : 4EB18
Tugas Etika Profesi Akuntansi

1.        Tahap Pengembangan Moral Lawrence Kohlberg
Kohlberg mengemukakan teori perkembangan moral berdasar teori Piaget, yaitu dengan pendekatan organismik (melalui tahap-tahap perkembangan yang memiliki urutan pasti dan berlaku secara universal). Mengembangkan teori dari Piaget, Lawrence Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi tiga tingkatan, yaitu dimana masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral:
a.         Tingkat Prekonvensional
Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan. Pada tingkat ini sering ditemukan pada anak-anak prasekolah, sebagian besar anak-anak SD, sejumlah siswa SMP, dan segelintir siswa SMU. Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
1)       Tahap Punishment and Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya.
2)  Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain. Tindakan yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan tersebut tidak merugikan. Pada tahap ini, terdapat hubungan timbal balik dan sikap terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.
b.        Tingkat Konvensional
Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok disekitarnya. Pada tingkat ini, sering ditemukan pada segelintir siswa SD tingkat akhir, sejumlah siswa SMP, dan banyak siswa SMU (biasanya tidak muncul sebelum masa SMU). Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a.      Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Moralitas suatu tindakan di ukur dari niat yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain.
b.       Tahap Law and Order Orientation
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada.
c.         Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ini sering ditemui pada jenjang sebelum kuliah. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu:
1)        Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang.
2)        Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.

2.        Faktor yang Menentukan Tingkatan Intensitas Masalah Etika
Itensitas moral diartikan sebagai cara berfikir yang menangkap luasnya masalah terkait kewajiban moral dalam sebuah situasi. Intensitas moral di bangun di atas logika, analogi dan beberapa komponen pembentuknya. Ada empat tingkatan intensitas mengenai etika, yaitu:
a.     Etika atau Moral Pribadi yaitu yang memberikan teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat, dan pengalaman masa lalu.
b.    Etika Profesi yaitu serangkaian norma atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu.
c.      Etika Organisasi yaitu serangkaian aturan dan norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan.
d.   Etika Sosial yaitu norma-norma yang menuntun perilaku dan tindakan anggota masyarakat agar keutuhan kelompok dan anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara.
Selain itu, komponen intensitas moral terdiri dari enam faktor, yaitu:
a.         Besarnya Konsekuensi (Magnitude of Consequence)
Besarnya konsekuensi bisa didefinisikan sebagai seberapa besar tingkat kerugian (atau manfaat) yang dirasakan oleh orang lain sebagai akibat dari tindakan etis/moral yang dilakukan. Jones (1991) berpendapat bahwa semakin besar konsekuensi yang ditimbulkan maka suatu tindakan akan lebih diketahui sebagai tindakan etis. Besarnya konsekuensi mengacu pada sejumlah gangguan atau keuntungan yang dihasilkan dari suatu situasi yang telah ada. Contoh : dalam kasus tekanan klien terhadap auditor agar mau menerima dan tidak meragukan laporan keuangan klien yang agresif, besarnya konsekuensi dapat disertakan dengan kerugian potensial bagi pengguna laporan keuangan.
b.        Social Consesus
Konsensus sosial didefinisikan sebagai anggapan yang beredar ditengah masyarakat terhadap suatu tindakan tersebut baik atau jahat. Dalam melakukan tindakan etis, seorang harus mengetahui apakah tindakan yang dilakukan tersebut dipersepsikan baik atau buruk oleh masyarakat. Consensus social mengacu pada luasnya persetujuan social bahwa tindakan dikatakan etis atau tidak etis. Konsensus yang lebih luas mengacu pada besarnya intensitas moral. Misalnya, dalam suatu situasi yang melibatkan pelanggaran standar profesional seharusnya mempunyai intensitas moral lebih besar dibandingkan dengan suatu situasi yang ada pada “area abu-abu”
c.         Profitability of Effect
Kemungkinan keterjadian merupakan suatu kondisi yang memungkinkan suatu tindakan moral/etis mengakibatkan kerugian atau manfaat kepada orang lain. Dalam suatu kemungkinan keterjadian yang tinggi, tindakan tersebut akan lebih dikenali sebagai tindakan moral yang akan berdampak kepada orang lain.
d.        Proximity
Tingkat kedekatan didefinisikan sebagai kedekatan (secara sosial, kultural, psikologi maupun secara fisik) antara pelaku tindakan dengan pihak terdampak.
e.         Temporal Immediacy
Jangka waktu munculnya akibat didefinisikan sebagai jangka waktu antara tindakan dengan konsekuensi moral yang ditimbulkan. Semakin singkat konsekuensi negatif dari suatu tindakan muncul hal tersebut akan membuat suatu tindakan dikenali sebagai tindakan etis. Suatu tindakan etis mengacu pada lamanya waktu antara tindakan dan konsekuensi yang muncul. Sesuai teori Jones (1991), orang tidak mempertimbangkan pengaruh konsekuensi masa depan, jadi dalam besarnya konsekuensi yang ada, kejadian yang terjadi dalam masa mendatang secara moral intensitasnya lebih kecil dibandingkan dengan kejadian yang datang dengan tiba-tiba.
f.          Concentration of Effect
Jumlah pihak terdampak adalah jumlah orang yang akan terpengaruh dengan tindakan etis yang dilakukan. Semakin banyak jumlah orang yang bisa terdampak akibat tindakan yang kecil, maka suatu tindakan akan lebih mudah dikenali sebagai tindakan etis. Untuk membentuk intensitas moral selain dengan melihat komponen pembentuknya juga didasarkan pada pengetahuan tentang etika.

3.        Jenis-jenis Penyimpangan di Tempat Kerja
Penyimpangan di tempat kerja adalah perilaku tidak etis yang melanggar norma-norma organisasi mengenai benar atau salah. Terdapat 4 jenis penyimpangan di tempat kerja, antara lain:
a.        Penyimpangan Produksi
Penyimpangan produksi adalah perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah hasil produksi. Misalnya: pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja bekerja lamban, dan sengaja membuang-buang sumber daya.
b.       Penyimpangan Hak Milik
Penyimpangan hak milik adalah perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan. Misalnya: menyabot, mencuri, atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang lebih tinggi dan mengambil kelebihannya, menipu jumlah jam kerja, dan mencuri dari perusahaan lain.
c.        Penyimpangan Politik
Penyimpangan politik yaitu penyimpangan yang menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan orang lain dalam perusahaan. Misalnya: mengambil keputusan berdasarkan pilih kasih dan bukan kinerja, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, dan menuduh orang lain atas kesalahan yang tidak dibuat.
d.       Penyerangan Pribadi
Penyerangan pribadi merupakan sikap bermusuhan atau perilaku menyerang terhadap orang lain. Seperti: pelecehan seksual, perkataan kasar, mencuri dari rekan kerja, dan mengancam rekan kerja secara pribadi.

Sumber :









 

Dyah Retno Wulandari Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review